Egoisme menurut mesin pencari adalah menempatkan diri ditengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain termasuk yang dicintainya. Ini yang aku tangkap dari seorang perokok. Nikmat merokok hanya sementara dan hanya dirinya saja yang merasakan, namun asap yang mereka timbulkan menyebar kemana-mana tanpa bisa dikontrol, bahkan sampai bisa menempel di dinding rumah atau mobil dalam waktu lama. Belum lagi efek penyakit yang ditimbulkan akibat merokok pasif yang tidak kalah berbahayanya.
Bapakku Si Pecandu
Saat anak-anak lain sibuk bermain dengan riang, dia harus putar otak bagaimana caranya nasi bisa sampai ke perutnya. kerja keras sudah menjadi makanannya. Saat lahir bapaknya sudah tiada karena menjadi pejuang kemerdekaan saat itu. Saat SD kelas 5, si anak bontot ini mulai keluar rumah dan memutuskan untuk tidak bergantung dengan ibunya yang memilik 4 anak lainnya. Jadi saat itu rokok menjadi teman setianya untuk merasa bahagia walau sementara.
Seiring berjalannya waktu, semakin candu semakin butuh. Tidak ada hari terlewatkan tanpa menghisapnya, sampai aku remaja dan mulai tahu bahayanya. Awalnya aku tegur perlahan sampai akhirnya kita sering berdebat karena ini. Akhirnya aku mulai dapat ide, dengan menyembunyikan benda itu setiap aku dapati di Rumah. Bapak selalu mencari dan menuduhku menyembunyikannya, dan aku selalu jawab “tidak tahu”. Saat aku berhasil sembunyikan 1, ternyata besoknya aku temui lagi yang lainnya. Ternyata bapakku selalu beli lagi saat dia tidak berhasil menemui barang itu. Lalu esoknya aku lakukan hal yang sama, namun kali ini bukan disembunyikan, melainkan mengambil bungkus rokok bapak, kemudian aku isi dengan air lalu diletakkan kembali ditempat semula. Bapak mulai murka, kita bukan lagi berdebat tapi berantem setiap hari karena ini. Bapak sampai sempat berucap “ini beli pakai duit bapak dan tidak minta kamu, bapak tinggal beli lagi” lalu aku jawab “tapi kalau bapak sakit aku yang jagain, bukan rokok itu”.
Aku sering menangis karena ini, karena aku sayang bapak aku tidak boleh patah semangat. Aku ambil majalah dan koran di rumah, lalu aku gunting iklan-iklan larangan merokok yang ada disitu lalu ditempelkan ke sudut-sudut rumah yang bapak sering lewati, seperti pintu, cermin, lemari, tembok dan lain-lain. Seperti yang bisa diduga, bapak merobek semuanya tapi aku terus melakukannya. Tidak ada perbincangan lain kami selain perihal ini.
Sampai suatu hari bapak harus dirawat, saat itu karena penyakit typus. Karena ibu bekerja, jadi aku dan ibu bergantian menjaga bapak di RS. Disitu kami mulai dekat lagi. Lalu sampailah di satu momen dimana aku minta 1 hal saja dari bapak, untuk berhenti. Dan disitu dia bilang, “pulang dari sini bapak nggak akan merokok lagi”. Ah, bahagia sekali rasanya, doaku, usaha, dan perang kita tidak sia-sia. Puluhan tahun ia candu akhirnya bisa berhenti juga. Ini membuktikan bahwa candu tidak bisa jadi alasan untuk tidak bisa berhenti.
Mengapa Memulai?
Saat ini anak usia sekolah sadar sudah banyak yang candu terhadap rokok, bahkan saat masih memakai seragam. Keluarga, Sekolah, Lingkungan dan Media tidak menjalankan perannya dengan baik? Ini tidak sepenuhnya menjadi benar. Karena saat ini orang tua yang perokok merasa tidak pantas untuk menegur anaknya yang akan merokok juga. Penyuluhan bahaya merokok di Sekolah kalah dengan ajakan teman saat nongkrong untuk merokok agar tidak "ketinggalan jaman". Lingkungan abai dan menganggap rokok menjadi hal yang wajar dikonsumsi oleh manusia. Kebanyakan masyarakat bahkan yang tidak merokok merasa malu untuk bersuara saat asap tersebut lewat diwajahnya dan secara tidak langsung paru-paru mereka juga ikut terpapar karnanya. Dan Media merasa sudah mengikuti aturan untuk tidak menampilkan orang yang sedang merokok di semua iklannya. sehingga pembiaranpun sudah terjadi di semua lini.
Efek dan bahaya yang ditimbulkan menjadi tidak dihiraukan karena tidak semua perokok merasakannya. Banyaknya jumlah perokok yang masih sehat dan baik-baik saja meskipun perharinya dia bisa 2-3 bungkus setiap harinya. Hal yang harus diingat bahwa penyakit yang ditimbulkan dari rokok tidak terjadi secara langsung, asap perlu waktu untuk memenuhi dan menghitamkan paru-parumu, menggerogoti argan-organmu yang lain lalu mengurangi kualitas hidupmu secara bertahap seperti terkena Stroke. Tapi ada juga kok yang cepat diambil nikmat hidupnya, seperti mengalami serangan jantung misalnya. Jadi kamu mau pilih yang mana?
Virus dan Asap
Virus covid 19 memiliki ukuran yang sangat kecil, hanya sebesar 1/ 600 rambut kita. virus ini hidup di paru-paru, dan asap perokok akan masuk dan merusak paru-paru, virus ini menyedot makanan dan darah di paru-paru sehingga sangat mudah penyakit lain untuk masuk dan merusak paru-paru.
Sebagai cara mengendalikan konsumsi tembakau per 1 Januari 2020 cukai rokok di Indonesia sudah naik 23% dan eceran 35%, apakah sudah efektif menekan jumlah permintaan rokok? Ternyata menurut Profesor Hasbullah thabrany sebagai Ketua umum Komnas pengendalian tembakau dalam talkshownya di Radio Ruang Publik KBR menjelaskan, ini sangat belum efektif. Mengevaluasi tujuan UU Cukai rokok sebagai alat pengendali konsumsi, khususnya konsumsi bahan berbahaya untuk kesehatan dan dan lingkungan. Dilihat di 10 tahun yang lalu permintaan rokok di Indonesia hanya 220 Miliar batang, sedangkan sekarang masih 330 Miliar batang, sehingga masih sangat jauh dari kata mengendalikan. Belum lagi di 5 tahun terakhir ini di dapat data bahwa anak remaja semakin banyak yang mulai merokok. Berarti harga kenaikan tersebut masih sangat terjangkau untuk mereka. idealnya harga perbungkus rokok yang saat ini masih 20 ribuan/ batang menjadi 70 ribuan/ batang. Sehingga yang bertahan merokok hanya yang terbiasa dan mampu jadi diharapkan, anak-anak tidak akan memulai untuk merokok.
Reni nurhasanah seorang Dosen dan juga peneliti sekolah kajian stratejik dan global Universitas Indonesia menjelaskan, cukai tembakau ini merupakan salah satu yang paling efektif di berbagai negara terbukti dari kajian-kajiannya bahwa negara berhasil menurunkan prevalensi dengan mekanisme harga dengan menaikkan cukai.
Mengapa harus saat pandemi?
- Dimusim pandemi seperti ini, seluruh lapisan masyarakat terkena dampaknya mulai dari krisis kesehatan dan juga ekonomi. Dari sisi kesehatan anggota komunikasi publik gugus tugas percepatan penanganan Covid19 Reisa Broto asmoro menyebutkan, seseorang yang mengidap penyakit tidak menular (PTM) dan terjangkit virus Covid 19 disebut memiliki potensi fatal yang tinggi. Merokok membuat 14x lebih parah mengalami gejala covid 19. Dikutip dari situs kementrian kesehatan, Merokok merupakan salah satu faktor resiko PTM penyebab penyakit seperti Kardiofaskular, Kangker paru-paru kronis dan diabetes. Selain itu merokok juga menyebabkan faktor resiko peyakit menular seperti TBC dan infeksi saluran pernapasan. Disisi lain, perusahaan rokok mengklaim telah terjadi peningkatan jumlah produksi dan naiknya permintaan rokok selama pandemi. Untuk itu pengendalian konsumsi rokok dimasa pandemi ini menjadi suatu keseharusan. Kita sebenarnya tahu pentingnya menekan rokok dimasa pandemi ini. mengingat ancaman dari rokok itu sendiri.
- Banyak sekali perusahaan melakukan pengurangan terhadap karyawannya. Peningkatan jumlah pengangguran membuat permintaan konsumsi rokokpun meningkat.
- Saat WFH (Work From Home) aktivitas banyak dilakukan di Rumah, yang sebelumnya tidak banyak merokok di Kantor karena keterbatasan waktu dan tempat, menjadi lebih leluasa melakukannya dimana saja dan kapan saja. Dan korbannya adalah anak, istri dan keluarga.
- Bantuan pemerintah untuk meringankan beban masyarakat terdampak Covid 19 berupa uang tunai menjadi salah sasaran. Seharusnya uang tersebut diperuntukkan memenuhi kebutuhan dasar keluarga tetapi malah menjadi sumber pembelian rokok dan mampu mengesampingkan biaya pendidikan dan kebutuhan pokok yang lain.
- Ancaman kesehatan, 20 tahun lagi dikhawatirkan nantinya akan banyak generasi stunting/ gagal tumbuh kembang karena banyaknya anak yang terpapar rokok. Stunting bukan hanya menyerang fisik, tetapi juga perkembangan otaknya. Hal ini akan menjadi beban negara juga nantinya.
Siap Mati?
Umumnya, hal yang ditakuti manusia adalah kematian, namun ini tidak sejalan dengan prilakunya semasa hidup. iya benar saya bukan ustazah, namun setuju kan dengan pernyataanku barusan? Takut mati namun senang dengan hal yang membuatnya dekat dengan kematian itu sendiri terdengar konyol namun inilah adanya. Penyakit kronis yang mengintai memiliki resiko tinggi terhadap kematian kan.
Disaat banyaknya aturan perihal pentingnya penggunaan masker untuk saling menjaga dan terlindung dari covid 19, si perokok masih sibuk memasukkan racun lain yang sama-sama menyerang dan merusak organ paru-paru. Hal darurat yang harus dilakukan adalah Denormalisasi rokok yaitu dengan tidak menganggap rokok sebagai barang yang normal, ini dilakukan oleh semua pihak. Dan juga ketegasan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok mencapai harga 70.000 atau lebih per bungkusnya. Jika harga rokok naik, maka banyak yang akan tereliminasi untuk tidak memulai dan membeli rokok atau paling tidak bisa mengurangi konsumsi rokoknya perhari.
Bagaimana denganmu, apakah kamu juga setuju?
“Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur (ISB). Syaratnya bisa anda lihat disini”.